REBAHAN
Tidaklah
mudah merangkum segala sesuatu yang terjadi di sekitar untuk ditumpahkan dan
disuarakan melalui sebuah karya. Butuh proses yang panjang dan keberanian yang
ekstra untuk berbicara lantang, terlebih lagi karya tersebut tercipta dari
sesuatu hal yang dianggap menyimpang. Dari sekian banyak hal yang dilalui, juga
tidak sedikit para seniman yang harus menerima kenyataan pahit mengenai apa
yang sedang terjadi di sekitar mereka.
Lumrah
sebagai manusia mengalami yang namanya fase dimana diri ini untuk memilih
meluangkan waktu sendiri. Memilih untuk menemukan ketenangan demi memungut
kembali serpihan kekuatan yang terjatuh di antara kenyataan yang didapati.
Begitu juga Haikal Azizi.
Namun
ingatlah, selalu ada tempat yang selalu siap untuk ditumpahi segala rasa maupun
asa. Rumah adalah salah satunya. Tempat yang tidak hanya berfungsi untuk kita
berlindung dari panas hujan dan terik sinar matahari saja. Namun tempat untuk
berlindung dari segala gusar gelisah hingga bara amarah. Begitulah Haikal Azizi
katakan melalui Bin Idris.
Rasa
kejenuhan yang Haikal Azizi temukan sepertinya membawa dirinya untuk pulang ke
rumah. Mengistirahatkan pikiran, menjauhkan diri sementara dari segala hiruk
pikuk kehidupan luar yang telah dilaluinya demi menemukan ketenangan yang
nyatanya memang sulit untuk ditemukan.
Selalu
ada saja yang berani menyelinap masuk ke dalam rumah tanpa ijin. Entah melalui
televisi, radio, surat kabar, handphone, hingga desas-desus obrolan pagar
bersama tetangga. Dari rumah yang penuh ketenangan, Haikal Azizi menceritakan
tentang apa yang dirasa dan temukan selama dirinya berada di dalam hangat
rumahnya.
Bersama
Bin Idris dan gitar yang dibawa pulang, Haikal Azizi menciptakan menebarkan
wangi. Bersama rindu dan gelisah yang tercipta, membawa dirinya untuk kembali
menyapa setiap sudut di dalam dan halaman rumah hingga membuahkan lagu
sapaan berjudul “Temaram”.
Jika menyimak
bagaimana musik dan urutan lagu yang dipresentasikan Bin Idris, hampir tidak
ada kisah yang berkesinambungan atau bahkan terkesan mengalir begitu saja dari
pikirannya. Rasanya memang rumah telah berhasil membuat Haikal Azizi bergelut
dengan isi dalam kepala mengenai apa yang dirasakannya dengan cara yang
sederhana, menciptakan karya.
Rasa
lelah yang mendera, membuatnya menuju ruangan yang memang menjadi tempat
terbaik untuk menyendiri di antara ruangan lainnya, kamar tidur. Tempat
yang paling tepat untuk menyingkirkan segala pikiran negatif dan pesimis
diluapkannya melalui lagu berjudul “Rebahan” dengan jendela kamar yang terbuka.
Mengambil
waktu sendiri di atas ranjang, dikelilingi pemandangan dalam kamar yang selama
ini dihuninya sejak dini dengan sedikit hembusan angin yang menghampiri. Haikal
Azizi sepertinya tiba-tiba tersadar akan kisah di balik dirinya sampai
dengan selamat menuju rumah dan meneriakkan kata pulang kepada kedua orang
tuanya. Menengok kembali gitar yang dibawanya untuk menciptakan
lagu “Jalan Bebas Hambatan” sebagai sebuah petuah sekaligus peringatan
untuk tetap menjaga keselamatan ketika hendak menuju peraduan demi bertemu
segala yang dirindukan dalam rumah.
Setelahnya
Haikal Azizi tersadar akan tujuannya untuk pulang ke rumah demi menemukan
ketenangan dan kehangatan untuk mengalihkan sementara kesibukan yang melanda
kesehariannya selama berada di luar pagar rumah sana. Ternyata memang sulit
bagi seorang Haikal Azizi untuk tidak bersanding dengan gitarnya dan
mencurahkan isi dalam kepalanya melalui lirik dan lagu yang dibuatnya. Pulang
ke rumah ternyata membuat dirinya malah tertantang untuk merangkum segala kisah
yang ada di pikirannya ke dalam lagu. Di balik itu semua lagu “Pusara”
tercipta.
Waktunya
beranjak dari ranjang. Melewati pintu dan menyantap makan siang buatan orang
rumah dirasa terlalu sulit untuk dilewatkan. Di sela menikmati hidangan dengan
lahap, tamu tidak diundang masuk menyampaikan kabar melalui layar kaca tepat di
sebelah meja makan.
Sebuah
kabar yang menyentuh hati seorang Haikal Azizi mengenai apa yang dialami oleh
para masyarakat kecil di atas tanah sengketa. Sebuah pertarungan yang begitu
tidak berimbang antara ‘kancil’ dan ‘serigala’ berhasil memantik perhatian
seorang Haikal Azizi untuk kembali mengambil gitar dan menyatakan isi kepalanya
melalui lagu “Tulang dan Besi”.
Sebuah
lagu yang didedikasikan untuk orang-orang yang enggan diperkosa demi
mepertahankan apa yang dipercaya. Seakan mendampingi slogan yang pernah
tercipta ‘Di Tanah Kami Nyawa Tak Semahal Tambang’. Dukungan yang diberikan
untuk para kancil yang telah diperkosa atau lebih parahnya lagi ditumpahkan
darahnya oleh para Serigala yang haus akan kekuasaan dan uang, lagu ini juga
sekaligus kutukan untuk para serigala dari pria yang menamai dirinya Bin Idris.
Marah
yang menyelimuti dirinya membuat Haikal membutuhkan udara segar. Teras rumah
dirasa menjadi tempat yang paling tepat untuk menemukan apa yang dibutuhkan
sambil menikmati pemandangan luar dari dalam rumah. Sambil tetap membawa
gitarnya bersamaan sore yang mulai lelah menyinarkan terangnya, dalam senja Haikal
Azizi berjalan menuju pekarangan rumahnya.
Memandangi
setiap bagian yang ada di sekelilingnya. Mendapati sebuah ketenangan dalam
semerbak wangi yang dihasilkan oleh hamparan bunga yang mengelilinginya.
Kembali lagi Haikal Azizi memainkan gitar dan melantunkan lagu “Dalam Wangi”
sebagai ucapan terima kasih kepada alam yang saat itu sudah menemaninya ketika
berada di rumah.
Dingin
yang tetiba datang membuat Haikal untuk masuk dalam peraduan. Namun itu tidak
membuat dirinya berhenti untuk memainkan gitar akustiknya. Duduk termenung di
depan pintu rumah, diatas kursi tamu. Di antara kerinduan dan hembusan angin
malam, tercipta “Di Atas Perahu” yang begitu dingin.
Udara
dingin yang menusuk membuat Haikal untuk segera masuk dan duduk di samping sang
Ibu. Di sebelahnya dirinya menemukan ketenangan, menyandarkan kepala pada
pangkuan Ibu mengalihkan sadar terhadapa usia yang tidak lagi muda. Entah apa
yang sedang dibayangkannya, akan tetapi kehangatan dari seorang Ibu
sepertinya membuat Haikal menciptakan lagu “Calm Water”.
Sampai
pada akhirnya dirinya tertidur dan berada di sebuah mimpi dengan iringan lagu
instrumental mengambang berjudul “Laylat Al Qadr”.
Tersadarlah
dirinya dan terbangun dengan senyuman yang menghiasi raut wajah sang Ibu.
Dibalasnya senyuman itu diiringi langkah untuk beranjak pergi ke kamar
tidur. Masih menyisahkan kegundahan dalam lubuk hatinya. Haikal Azizi
masih belum bisa memejamkan mata seperti beberapa saat lalu ketika berada di
dekapan sang Ibu.
Malam
kian larut, hatinya semakin berkecamuk. Amarah, keraguan, bingung, dan benci
seakan menjadi satu. Dampak dari kenyataan yang ada di depan mata, jika
kehidupan di luar sana terus akan menanti kehadirannya. Di antara itu semua
dirinya memandangi lampu dan menciptakan “How Naïve” dari rasa yang berkecamuk.
Merasa
dirinya masih tertiup udara dingin, Haikal teringat jika jendela masih
dibiarkan terbuka. Beranjaklah dia dari tidurnya sambil bersiul demi
mengalihkan rasa dan dingin yang menggangu. Kini Haikal Azizi terjaga dalam
tidurnya di ruangan masa kecilnya. “Inside Room” yang begitu tenang dengan
suara siulannya seakan mengantarkan tidurnya yang nyenyak dan menjernihkan
pikiran serta menguatkan dirinya untuk kembali menjalani realita kehidupan.
Komentar