MEMAKNAI “RUH” PENDIDIKAN DASAR PECINTA ALAM
Jakarta, 26
Januari 2017 – Saat ini dunia alam
bebas di Indonesia kembali dirundung duka. Setelah beberapa kasus pendaki tewas
maupun pendaki yang hilang saat berkegiatan di alam bebas banyak bermunculan,
kini dunia kepencintaalaman pun tak terelakkan. Tiga (3) orang saudara kita,
anggota Mapala Unisi (UII) telah berpulang ke Yang Maha Kuasa setelah mengikuti
pendidikan dasar pecinta alam.
Diksar pecinta alam merupakan sebuah kata yang tak lagi asing
dikenal. Sebuah prosesi yang harus dijalani bagi calon penerus baru demi
regenerasi organisasi pecinta alam. Penuh tekanan, penuh persiapan, penuh
finansial, bahkan sarat akan kekerasan, dan terkadang tak sedikit jatuh korban.
Mari kita telaah sejenak, mengapa demikian? Apa yang mendasari itu semua? Ada
apa dibalik proses pendidikan yang selama ini tetap dipertahankan?
Pandangan
terhadap diksar, Kajian teori pembelajaran
Pada dasarnya Diksar yang dimaksud adalah untuk
menanamkan nilai-nilai kepecintaalaman kepada calon-calon anggotanya, agar
kelak ketika dia menyandang nama seorang pecinta alam tidaklah “kosong” secara
jiwa sebagai fitrahnya seorang pecinta alam. Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa diksar tidak
hanya mempersiapkan skill dalam
berkegiatan di alam, namun juga sebagai tonggak awal berkembangnya mental dan
insting mereka. Akhirnya dari kombinasi itu mereka lebih percaya diri, lebih
mampu mengukur kemampuannya, dan peka terhadap sekelilingnya.
Diksar merupakan pintu
gerbang kurikulum pendidikan pecinta alam. Sebuah ritual sakral yang tiap-tiap
organisasi di seluruh Indonesia melaksanakannya. Dalam kegiatannya, diksar
dilesenggarakan bukan tanpa dasar, proses-proses pembelajaran didalamnya telah
direncanakan secara matang. Kita tahu bahwa kegiatan di alam bebas memiliki
resiko yang tinggi menyangkut keselamatan jiwa, oleh sebab itu “kematangan”
penyelenggara diksar benar-benar diuji disini.
Sebagai organisasi pecinta
alam di lingkungan kampus pendidikan, KMPA Eka Citra UNJ juga melaksanakan
diksar sebagai formula terbaik dalam regenerisasi anggotanya. Teori-teori
pembelajaran yang didapat dibangku kuliah pun tak serta merta “lewat” begitu
saja. Dalam diksar, membentuk calon-calon anggota menjadi seperti yang
dipaparkan diatas perlu menempuh sistem/metode khusus. Secara umum, seluruh
Kelompok Pecinta Alam (KPA) di Indonesia menerapkan sistem reward – punishment. Apakah kedua istilah itu?
Istilah tersebut sangat populer di dunia pendidikan, reward – punishment merupakan salah satu
ciri-ciri dari teori belajar Behavioristik dimana tingkah
laku peserta didik dalam hal ini calon anggota KPA merupakan reaksi-reaksi
terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan masa sekarang, dan bahwa segenap
tingkah laku adalah merupakan hasil dari belajar. Teori belajar behavioristik
dikemukakan oleh para psikolog behavioristik salah satunya adalah Ivan Pavlov
yang berpendapat bahwa, tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh
ganjaran (punishment) atau penguatan (reward) dari lingkungan sekitarnya.
Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara
reaksi-reaksi behavioral dengan stimulusnya, harapannya terjadi perubahan
perilaku “menjadi lebih baik” setelah belajar.
Sebagai
contoh, dalam dunia pecinta alam saat calon anggota KPA tidak mematuhi tata
tertib kesiswaan selama diksar, ia akan otomatis diberi punishment (hukuman) dengan tingkatan yang berbeda sesuai
kesepakatan yang tertuang dalam tata tertib diksar. Misal, tidak memakai slayer
saat materi kelas diberi punishment 1 seri (10x push up), ini dimaksudkan agar
calon anggota tersebut diberi efek “jera” dengan kemudian bisa merubah
perilakunya menjadi lebih baik dan mematuhi aturan yang berlaku. Mengapa hal
ini diterapkan?
Mengingat
medan yang ditempuh merupakan alam bebas dengan resiko yang tinggi, diharapkan
siswa bisa mengkondisikan dirinya dengan cepat, aman, dan bertanggungjawab. Namun,
tetap pemberian punishment harus
sesuai dengan koridornya. Punishment yang diberikan haruslah “mendidik” calon
anggota. Jika pemberian ganjaran (punishment) kelewat
batas, seperti kontak fisik (pukulan, tendangan, dan sebagainya) mustahil
karakter tangguh, disiplin dan kreatif akan terbentuk lewat cara-cara yang
instan.
KMPA
Eka Citra turut berduka cita atas kepergian Saudara kita – Ilham Nurfadmi
Listia Adi, Muhammad Fadhli, dan Syaits Asyam – dari Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta. Semoga kejadian ini menjadi pelajaran bagi kita semua,
bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia.
SALAM
LESTARI!
Oleh :
Tita Nurmala (EC. 3415 –
0352)
@ekacitraunj
KEEP
OUR BROTHERHOOD
Komentar