DIENG, DINGIN, DIA
Derau suara hiruk pikuk pendaki, pejalan, atau si patah hati menyatu
jadi satu di kabin bis lusuh ini. Mentari belum meninggi sama sekali, 4.30
ketika aku dan beberapa orang dengan rela harus menahan dingin kala menyusuri
jalan menuju singgasana turunnya Dewa Dewi di tanah ini, Dieng.
Jarak Wonosobo – Dieng ditempuh kurang lebih 1,5 – 2 jam perjalanan.
Tapi tak apa, Sindoro – Sumbing di kejauhan agaknya menyemangatiku, lebih dari
sebelumnya. Bukit-bukit yang berundak-undak, ditanami apa yang bisa ditanam, apapun,
dalam kemiringan hampir 70 derajat mampu untuk tetap berbuah dengam cantik. Dan
mereka makin menambah semangatku. Kau lihat ini kawan? Subuh yang lain, jelasku
dalam hati.
Tepat pukul 6 pagi aku sampai juga. Begitu banyak penanda yang
menjelaskan bahwa memang benar, aku telah sampai. Disini, di ke-Agungan-Mu yang
lain. Pagi itu aku dipaksa langsung menyesuakan diri dengan udara 10 derajat,
lumayan dingin. Ribuan orang melimpah ruah disini, menjadi satu, berbaur,
mendekap, menangkap apa-apa yang hangat di ujung bibir. Tak terkecuali diriku.
Festival seni dengan campuran antara budaya tradisional,
kontemporer, sampai modern pun sudah rutin diadakan, dan ini adalah yang ke-7
kalinya. Dataran tinggi Dieng menjadi pilihan tempat yang paling sempurna untuk
memadu padankan semuanya, bahkan segalanya. 2093masl adalah titik sempurna
perhelatan dengan suhu udara hampir 4 derajat itu digelar.
Jazz Atas Awan adalah target utamaku. Inilah moment dimana “patah-hatimu-diobati-alam”.
Tapi sesungguhnya bagi kalian yang memilih datang kesini dengan hati yang
terluka apalagi hanya seorang diri, pilihan kalian tak salah, sama sekali. Semoga
udara 4 derajat ini memelukmu, membaur mengobati lukamu, juga.
Perhelatan Jazz Atas Awan pastinya mempertunjukkan hal-hal yang ‘jazzy’.
Dieng dengan segala isinya makin manis kala dinikmati sembari mendengar petikan
gitar para musisi jazz kenamaan negeri ini. Dan satu hal yang paling kusyukuri
adalah, kehadiran Tesla Manaf di Jazz Atas Awan Part #1 yang sudi memetikkan
gitar elektriknya di udara tipis ini dengan sukses, dan aku tahu itu tidak
mudah.
Beberapa musisi jazz dari luar Jawa Tengah juga satu persatu telah
tampil. Tapi, yang paling berkesan adalah kala Tesla Manaf benar-benar membius
telinga penonton dengan alunan gitarnya. Melodi yang Ia mainkan bukan seperti
musik-musik Jazz biasanya yang hanya 30 detik konsep lalu 6 menit selanjutnya
hanya aransemen. Ia benar-benar membuat tubuh musik yang ia buat sama sekali
tak sama. Tak ada aransemen, konsep musik di awal petikan sampai akhir adalah
satu. Dan itu jarang sekali kita temui di lagu-lagu lainnya. Tak heran ia
sukses menelurkan albumnya di New York dan mendapat tempat tersendiri bagi para
pendengarnya.
Jazz Atas Awan kali ini digelar 2 kali, jika para musisi jazz luar
Jawa Tengah telah tampil di Part #1 maka esok harinya giliran para musisi jazz
Jawa Tengah-lah yang menujukkan aksinya di panggung utama Candi Arjuna dalam
Jazz Atas Awan part #2. Namun sayang, bagiku line up yang akan tampil kali ini
kurang aku kenal, tetapi panitia menyebutkan akan ada bintang tamu spesial
malam ini. Aku makin penasaran.
Hari ini benar-benar terasa dingin, sesekali membuka sosial media
dan hampir banyak yang menyebutkan bahwa udara malam ini hampir menembus 2
derajat Celcius. Columbia lusuhku tak sanggup menahan lebih lama lagi udara
diluarnya, hingga sampai pada saat Anji (ex vokalis Drive) tetiba muncul dari
balik panggung dan membuat semua penonton histeris. Sambil mendendangkan sebait
lirik...
“Oh Tuhan, kucinta dia, sayang dia, rindu dia, inginkan dia. Utuhkanlah
rasa cinta dihatiku. Hanya padanya. Untuk dia”
Makin tenggelam sajalah aku didekap udara malam ditambah
mendengarkan bait-bait lirik lagu yang secara sempurna dilafalkan oleh Anji. Aku
hanya berdecak kagum, menganga, berusaha mengikuti tiap lirik yang keluar dari
bibirnya. Total ada 4 lagu yang dibawakan Anji malam itu.
Ekspektasiku terhadap Jazz Atas Awan memang tinggi, dimalam-malam
sebelum keberangkatanku ke Dieng aku sempat membayangkan betapa atmosfer Sigur
Ros dengan Olsen Olsen-nya atau Dream Koala dengan Gold-nya bisa aku rasakan
disini. Walaupun sedikit kurang memenuhi ekspektasiku yang berlebihan itu, tapi
tak apalah semua terbayarkan dengan penampilan Tesla Manaf dan Anji yang sukses
menghipnotis semua indra.
Dan lagi, Dieng mengobati patah hatiku yang lalu-lalu. Baluran
kepedihan disirami mentari hangat 20 derajat, diseduhi secangkir purwaceng yang
sepat, dan disadarkan kabut yang turun hanya sesaat. Sebuah ritual lain bagiku,
buang sial dalam istilah lainnya. Atau sebuah terapi mental untuk bersiap
membuka yang baru, menutup yang lama.
Tak ada motivasi yang spesifik kenapa aku memilih untuk kesini,
menghabiskan kurang lebih 4 hari lamanya, lalu berlama-lama dibus, Jakarta –
Dieng dengan total lama perjalanan hampir 12 jam. Dieng sendiri menurutku
adalah anugerah lain yang harus kita nikmati selagi hidup. Dieng merupakan salah
satu “milestone” bagiku. Dimana aku bisa mengukur sejauh mana rasa syukurku
pada-Nya.
“Going to the woods is going home”
- John Muir
Komentar
Tapi ke DCF-nya cukup sekali saja. Ramai kayak pasar! Pas acara Jazz Atas Awan, lha malah hawanya dingin banget kayak di dalam freezer kulkas. XD
Dieng punya aura nya sendiri bagi tiap2 orang yang punya "ceritanya" disana,
DCF kali ini yg pertama buat saya karna taun2 sebelumnya belum sempat dipertemukan hehe
jazz atas awan sendiri adalah gelaran yang penontonya kudu fokus, ekstra fokus malah. gimana engga? nahan dingin, idung meler, kepala pening hahhaaa belum lagi kudu ngeraba2 musik yang lagi didengerin pertama kali.
@tira iya setuju! dieng diciptakan kala Allah sedang tersenyum, haha