SEBERMULA ADALAH NGOPI
Assalamualaikum Wr. Wb,
Adalah kopi dan
alam, beberapa hal lain yang dapat mempersatukan satu orang dengan orang-orang
lain. Terutama para pejalan. Itu adalah sebuah trigger diskusi pun keakraban,
sebuah alasan untuk hidup bersama dan sederhana menembus batas yang diciptakan
harta, usia, pun tahta.
Kali
ini aku mencoba untuk menulis bukan pada cita rasa, efek/rangsangan, kadar
senyawa, teknik penyajian kopi dan lain sebagainya, tagline diatas hanya
pemanis kecil untuk catatanku yang mungkin akan terasa sedikit “pahit”. Disini
aku akan lebih dominan menulis tentang ngopinya. Betapa ketika kita ngopi tidak
sekedar kita menikmati pun bicara kopi. Sebab “ngopi” kini adalah lebih dari
sekedar minum kopi. Ngopi, terutama di warung kopi, orang bisa saja dia memesan
teh, cokelat, dsb, namun tetap saja kita melabeli itu dengan sebutan ngopi.
Ngopi adalah tradisi, adalah pertemuan, sosialisasi,silaturahmi, diamna
didalamnya sangatlah mungkin tercipta pembicaraan hangat yang bersifat individual
maupun universal, bicara muslihat maupun muslahat.
Lihat
apa yang telah dilakukan kopi untuk orang-orang di dunia.
Dari
kampung-kampung hingga kota metropolitan, ngopi di warung kopi adalah sebermula
tersampaikannya opini-opini pemilihan RT, Kepala Desa, pun pemimpin negara,
dari sana pula lobi-lobi niaga politik biasa tercipta, transaksi kawin kontrak
hingga roman pujangga terjadi, tugas-tugas akademik dirampungkan, sosial
digerakkan, gagasan-gagasan progresif tentang perubahan hingga revolusi digelar
didalamnya.
Meluas sejenak,
mari ingat lagi dimensi dan apa-apa yang telah diperbuat kopi dan orang-orang
yang ngopi. Di Perancis, 1670-an, wine, minuman “wajib” orang Eropa itu menurun
popularitasnya. Orang-orang memilih berkumpul di warung kopi, disana gagasan-gagasan
bermula, diskusi tercipta, beredar, dan terakumulasi sedemikian rupa hingga
akhirnya melahirkan Revolusi Perancis. Mengantisipasi gagasan dari
warung-warung kopi, Inggris 1675, dengan alasan menganggu stabilitas dan
melalaikan tanggung jawab, Raja Charles II menerbitkan larangan warung-warung
kopi. London bergejolak, protes bermunculan, Raja Charles mengundurkan diri.
Lebih dekat,
Yogyakarta 2009. Para pegiat sastra membentuk sebuah wadah kajian sastra
bernama KopiSastra. Sebuah wadah pegiat sastra untuk berkumpul bersama untuk
tidak lagi sibuk dengan bulan, bintang, dan amarahnya sendirian, mereka bersama
membangun penerbitan, gagasan-gagasan, aktif dan peka menanggapi
masalah-masalah sosial melalui sastra. Para pejalan dari berbagai atribut dan
bendera datang berkumpul di warung kopi. Tak butuh waktu lama hingga akhrinya
Operasi bersih Gunung bersama tercipta sebagai solusi awal yang berkelanjutan,
gerakan sosial tanggap bencana terlaksana.
Mereka para
pejalan yang melakukannya bersama-sama. Warung kopi memiliki andil untuk
membuktikan bahwa anggapan para pekalan itu melulu sibuk di sekre dengan
benderanya masing-masing adalah anggapan yang salah. Lewat ngopi, mereka
menciptakan sekber di warung-warung kopi.
Ngopi
dan berperjalanan adalah manifestasi kemerdekaan para pejalan.
Pejalan.
Seorang yang menghargai perjalanan dan/atau proses yang ditempuh untuk
mendapatkan sebuah nilai atau value tertentu. Sama seperti kopi, pahit, manis,
asam bertemu didalamnya. Ia, baik kopi maupun pejalan, melewati perjalanan
panjang yang kompleks, berkelanjutan, saling terhubung, otentik, dan menyebar
ke seluruh penjuru negeri. Berperjalan dan ngopi memiliki satu kesamaan lain,
yaitu candu. Socially acceptable “drug”.
Kita
yang berkumpul dan ngopi pada hari Senin malam adalah sebuah tamparan bagi
mereka yang lebur dan dipaksa patuh pada mekanisme globalisasi. Kita yang
berpacking dan siap berperjalanan di kamis pun jumat sore adalah sebuah
tamparan lainnya bagi mereka yang masih bergelut dengan deadline sebelum sabtu
tiba. Ya. Ngopi dan berperjalanan adalah manifestasi kemerdekaan. Menurutku.
Kini.
Tidak ada lagi larangan ngopi sebagaimana Eropa di 60-an, tidak ada batasan
tema berdiskusi sebagaimana Indonesia di Orde Baru. Idealnya, produksi gagasan
dan ide tercipta lebih masif dari warung kopi oleh mereka yang berkumpul ngopi.
Sejauh ini, mungkin sosial media adalah yang terberhasil menyambungkan
komunikasi sesama pejalan, namun tetap, ngopi bersama adalah muara yang
diharapkan sesudahnya. Kopi darat misalnya, dimana pegiat alam bertemu bicara
bendera dan pengalaman, isu-isu seputar dunia kependakian, etika, sampah dan
lain sebagianya mengalir memutar didalamnya. Argumennya mungkin bermacam-macam,
namun yang patut diapresiasi adalah kerelaan mereka untuk melepaskan atribut dan
bendera, semua bicara atas nama alam dan lingkungan yang lebih baik. Sebab apa yang lebih esensial yang bisa
dibanggakan dari pejalan selain gagasan dan tindakannya terhadap kebaikan alam?
Sinisme, sekecil apa itu harus dijaga.
Ketika di malam yang sama para elit politik berkumpul menyusun kebijakan
busuknya, para pemodal berdiskusi menunjuk-nunjuk hutan, teluk, dan bakal beton
selanjutnya, pemasar dan media bahu membahu memoles milyaran botol plastik dan
propaganda, masihkah kita memilih sendiri terbakar di kamar-kamar?
Mari
kita manifestasikan lebih baik lagi kemerdekaan kita sebgai pejalan dengan juga
berkumpul ngopi dan menciptakan gagasan-gagasan baik untuk lingkungan dan
kehidupan yang lebih manusiawi.
Semoga
semakin banyak #Rebukuisasi, #1Pendaki1Buku, #pejalanbergerak,
#GerakanPungutSampah dan gerakan-gerakan baik lainnya dari kawan-kawan pejalan
yang tercipta dari kemerdakaan kita yang bernama “ngopi”.
Ingat,
kebaikan bukan hanya terjadi karena ada niat pelakunya, tapi karena ngopi
bersama.
Salam
satu cangkir. Salam hormat, lestari, lan rahayu. Hidup pejalan!
Wassalamualaikum, Wr. Wb.
Komentar