CATATAN SEORANG PENGAGUM
Ada dua pendapat yang sangat klasik
dan yang satu dengan yang lain bertentangan tajam bilamana menyangkut penilaian
mengenai karya dan pribadi seseorang. Ada yang mengatakan mengenal latar
belakang kehidupan dan bila perlu pengenalan secara pribadi, mengetahui
lika-liku kehidupan pribadi seseorang adalah syarat mutlak bilamana seseorang
berusaha memahami pribadi seorang lainnya. Pendapat yang dilibatkan didalamnya
adalah bahwa karya seseorang bukan pencerminan dan penjelmaan nyata dari diri
seorang penulis. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat betapa perbedaan
antara gaya hidup seseorang yang meletakkan persepsi dan cita-cita tercermin
dalam tulisan-tulisannya di bawah telapak kakinya sendiri. Dengan kata lain
hanya yang pernah mengenal pribadinya dari dekat bisa menulis tentang seseorang
atau percuma menulis untuk membahas seseorang yang hanya dikenal melalui karya
tulisnya.
Pendapat lain yang persis
bertentangan yaitu yang mengatakan untuk menulis tentang seseorang tidak perlu
mengenal orangnya secara pribadi, tetapi karyanyalah yang menjadi lahan yang
harus digarap dan dinilai karena orangnya menjelma seutuhnya di dalam karyanya.
Kalau karya-karya lain hanya secara tidak langsung mengatakan seseuatu tentang
penulisnya maka disitu pulalah perbedaannya dengan catatan harian yang ditulis
secara jujur. Catatan harian adalah potret dengan sinar rontgen dan penjelmaan diri paling dalam dari seseorang.
Dengan mempertimbangkan kedua
pendapat tersebut, saya berada pada posisi mereka yang menganut pendapat kedua.
Saya berusaha memahami tentang seseorang yang tidak saya kenal secara pribadi
dan juga tidak pernah bertemu muka. Perkenalan secara samar-samar (kalau boleh
disebut perkenalan) mungkin karena lebih dalam arti mendengar tentang Soe Hok
Gie sendiri daripada mengenalnya dalam arti sebenarnya.
Saat dibangku sekolah menengah
pertama, untuk pertama kalinya saya mengenal sosok Soe Hok Gie (untuk
selanjutnya disebut Gie) melalui buku Catatan
Seorang Demonstran. Bagi saya, kumpulan catatan harian mahasiswa Fakultas
Sastra Universitas Indonesia yang diterbitkan LP3ES sangat menarik dan
inspiratif. Tak bisa disangkal, buku tersebut menjadi bagian penting dalam masa
transisi saya. Juga, ikut mengantar perjalanan saya dari seorang remaja yang
beranjak menjadi manusia dewasa.
Saya masih ingat, saat membuka tiap
halaman buku tersebut, rasa malu langsung menyergap. Apa yang dilakukannya
sungguh luar biasa. Pada usia yang masih belia, 14 tahun, Gie telah menaruh
minat yang besar terhadap sejarah dan literatur. Orang yang tidak saya kenal
ini tiba-tiba membuat saya bangga menjadi anak Indonesia. Cakrawala berpikir
saya mulai terbuka.
Sebagai seorang remaja yang tumbuh
di masa reformasi, saya merasa begitu bodoh. Saya sama sekali tidak mengetahui
dan memahami apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini pada tahun 1960-an (saat
Gie menuliskan catatan hariannya). Melalui goresan penanya, Gie mengantarkan
saya ke sebuah masa penuh gejolak yang nyata di Indonesia.
Soe Hok Gie adalah seorang
cendekiawan yang ulung yang terpikat ide, pemikiran dan yang terus menerus
menggunakan akal pikirannya untuk mengembangkan dan menyajikan ide-ide yang
menarik perhatiannya. Tulisan-tulisannya menggugah hati pembaca, menjadikan
mereka menyokong sepenuhnya pandangan-pandangan yang dikemukakannya atau
membenci penulisnya yang berani mengatakan apa yang tidak berani dinyatakan
oleh orang lain. Gie adalah seorang pemuda yang penuh cita-cita dan terus
berjuang agar kenyataan-kenyatana yang diwujudkan oleh masyarakat kita dapat
diubah sehingga lebih sesuai dengan cita-citanya yang didasarkan atas kesadaran
yang besar akan hakikat kemanusiaan. Dalam memperjuangan cita-citanya ia berani
berkurban dan memang sering menjadi kurban.
Peranan Gie dalam usaha menegakkan
Orde Baru yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto tidak kecil. Ia sangat mengharap
agar pemerintahan Orde Baru mengembangkan dan memperkuat keadilan sosial yang
rasanya telah ditelantarkan di pemerintahan Orde Lama. Justru untuk memperkuat
Orde Baru ia tidak segan-segan melancarkan kritikan pedas terhadap segala
sesuatu yang menurut anggapannya tidak dapat dibenarkan. Kecaman yang
dilontarkan oleh Gie dilancarkan atas pemikiran yang jujur dan atas dasar
itikad baik. Ia tidak selalu benar, tapi ia selalu jujur.
Ketika membaca tulisan-tulisan Gie,
hati saya tergoda untuk membandingkan Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib. Menurut
pandangan saya keduanya adalah eskponen dari yang disebut sebagai
“manusia-manusia baru”. Dalam banyak hal keduanya tidak berbeda meskipun dalam
banyak hal pula keduanya dibawa nasib ke tempat yang berbeda. Soe Hok Gie lahir
pada 17 Desember 1942 sedangkan Ahmad Wahib lahir pada 9 November 1942. Keduanya adalah aktivis
mahasiswa, pemikir, menekuni secara setia catatan harian, memberikan komentar
hampir tentang segala jenis peristiwa dari filsafat, agama sampai politik. Pun
keduanya mengalami nasib yang sama yaitu mati muda.
Namun ada perbedaan lingkungan yang
menentukan antara keduanya. Soe Hok Gie lahir dan dibesarkan di Jakarta tempat
semua jenis pergulatan hidup yang besar, yang kecil dan yang dekil, yang
mendidik dan yang tidak mendidik. Ahmad Wahib lahir dalam lingkungan santri
Sampang, Madura suatu prototipe lain dari kehidupan pedesaan yang kering,
tempat orang pulang pergi ke kota besar seperti Surabaya dan lain-lain. Desa di
mana mobilitas sangat besar karena orang keluar masuk dari desa ke kota; namun
mobilitas yang sering dianggap sebagai indikator modernitas, di Madura menjadi
lambang kekurangan, kemiskinan dan kelaparan. Jika dilihat dari kriterium
tersebut maka keduanya justru yang dididik dalam optimisme kemerdekaan dan
justru orang yang mengalami secara langsung kehancuran cita-cita maupun
kepercayaan tersebut sehingga bayang-bayang kelabu kehidupan tidak pernah lepas
dari keduanya. Kecemasan, ketakutan, keraguan yang menyebabkan keduanya
memandang hidup ini serba hitam. Sampai-sampai Gie begitu gemar mengutip
seorang filsuf Yunani yang selalu berkata:
Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan
yang kedua dilahirkan tapi mati
muda, dan
yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang
begitu.
Bahagialah mereka yang mati muda.
Sedangkan Wahib begitu didominir oleh keraguan,
kecemasan dan ketakutan: “...Semuanya ini membuat aku cemas menghadapi masa
depan. Gairah, senang, tapi di lain pihak putus asa, takut, cemas dan
lain-lain...”
Tetapi
jangan kita keliru menanggapi kecemasan, kehitaman dan kesuraman yang meliputi
keduanya ini. Kekelaman sama sekali tidak menyebabkan keduanya berada dalam
situasi inaction, mati gerak, tetapi
justru kekelamanlah yang selalu memacu keduanya untuk senantiasa bersikap
dinamis, mencari, meragukan dan membongkar bahkan menyusun baru kembali
segala-galanya. Dalam diri keduanya selalu memupuk perasaan untuk
mengumandangkan kata “tidak” kepada semuanya yang mapan termasuk dirinya sendiri
seperti yang begitu tandas dikemukakan Ahmad Wahib misalnya:
Aku bukan
nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha,
bukan protestan,
bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis.
Aku adalah
semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin
bahwa orang
memandang dan menilaiku sebagi suatu kemutlakan (absolute
entity) tanpa
menghubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta
aliran apa saya
berangkat.
Tetapi yang diakuinya adalah dirinya dalam proses
yang tidak pernah mencapai garis finis, karena itu dirinya yang dinamis di
dalam pergolakan, gejolak yang terus-menerus, suatu kegelisahan abadi dan sama
sekali bukan keayeman yang aman, tenang dan lengan.
Sekarang
kita kembali lagi kepada Soe Hok Gie yang juga mengemukakan hal-hal yang hampir
sama dalam kurun umur ketika dia masih sangat muda. Dia bereaksi terhadap
pendapat bahwa seorang hanya dapat hidup dari harapan-harapan. Demikian
katanya:
Tapi sekarang
aku berpikir sampai mana seseorang masih tetap wajar,
walau ia sendiri tidak mendapatkan apa-apa.
Seseorang mau berkorban
buat sesuatu, katakanlah ide-ide, agama, politik
atau pacarnya. Tapi
dapatkah dia berkorban buat tidak apa-apa? Aku
sekarang tengah terlibat
dalam pemikiran ini. Sangat pesimis, dan hope for
nothing.
Aku tidak percaya akan sesuatu kejujuran dari
ide-ide yang berkuasa,
aku tak percaya Tuhan... Tetapi aku sekarang masih
mau hidup. Aku
tahu motif apa yang ada dalam unconscious mind-ku
sendiri.
Pandanganku yang agak murung, bahkan skeptis ini
pernah dinamakan
sebagai destruktif,... Tetapi bagaimana bila memang
hidup adalah keruntuhan
demi keruntuhan? Apakah kita harus belajar sejarah,
makin pesmis aku,
makin lama makin kritis dan skeptis terhadap apa
pun. Tetapi tentu ada
suatu motif mengapa aku begini. Memang life for
nothing agaknya sudah
aku terima sebagai kenyataan.
Gie
yang menurut saya adalah eksponen dari “manusia-manusia baru”, dipihak lain
juga melihat betapa kualitas yang disebut “manusia-manusia baru” itu sendiri.
Dia melihat bahwa mereka yang terbakar oleh ucapan Bung Karno “gantungkanlah
cita-citamu setinggi langit” dan memasuki perguruan tinggi misalnya, ternyata
hanya mampu menjadi tukang. Kehancuran dan demoralisasi yang disaksikannya
tidak mampu menimbulkan moral yang tinggi. Kalau gerakan penggulingan rezim
Soekarno digambarkan sebagai batu tapal
daripada perjuangan menegakkan kebenaran dan kejujuran dan disebutnya juga
sebagai batu tapal dalam revolusi Indonesia, maka dia pun juga melihat betapa
hasil revolusi ini karena mutu pendidikan dan pengetahuan generasi ini yang
rendah menyebabkan dia mengambil suatu kesimpulan yang tandas:
Dengan beberapa kecuali, generasi
kemerdekaan ini adalah generasi
yang tidak siap untuk mengambil alih tanggungjawab
kemasyarakatan
. Guru-guru yang tidak cukup terdidik,
sarjana-sarjana pengetahuannya
sepotong-potong atau polisi yang
tidak tahu tugasnya sebagai
penegak hukum.
Pada akhirnya mereka akan berpaling
lagi pada segelintir yang punya
kemampuan dalam bidangnya dan pola
masyarakat yang separuh
terdidik dengan “trials and errors-nya” masih akan
berlangsung terus.
Disinilah terletak kontradiksi generasi kemerdekaan.
Antara cita-cita
untuk mengisi kemerdekaan dan rasa impoten dalam
pelaksanaannya.
Dan generasi inilah yang akan mewariskan Indonesia
dalam waktu
yang tidak lama lagi.
Gie
yang tak habis-habisnya menggunakan akal pikirannya untuk mencari suatu hal
yang dianggapnya bertentangan dengan kebenaran yang dia pikirkan dan yang dia
inginkan akhirnya mencarinya dalam suatu bentuk yang konkret. Bentuk konkret
itu disebut “Kau” yang dicarinya dalam kehidupan pribadi dan kelompok-kelompok
intimnya, kalau perlu seorang sahabat pribadi perempuan yang terikat di dalam
“yang disebut cinta yang suci”. Tetapi dalam hal ini pun dia sendiri
terombang-ambing. Seperti di ping-pong kesana kemari antara adanya cinta atau
tiadanya cinta. Dia juga diping-pong antara sikap platoniknya dalam bercinta
yaitu menempatkan dan merindukan cinta di langit atau menarik cinta itu untuk turun
dan dipertemukan dalam tubuh seorang lelaki dan seorang perempuan. Ketika dia
mengejar semua menolak. Ketika dia diam semua seperti kupu-kupu bergelantung di
bibir lampu malam hari. Karena itu bisa dipahami ketika dia mabuk asmara bukan
karena bertemu tapi karena ditinggalkan cinta, dia mengumandangkan sebuah
tanya:
Apakah kau masih berbicara selembut dahulu...
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu...
Ketika ku dekap kau..
Manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru.
Saya menjadi pengagum Gie. Buat
saya, dia adalah hero yang selalu siap membela yang lemah. Jiwa pemberontaknya
mengobarkan semangat saya untuk mengejar cita-cita. Kekuatan kata-katanya tidak
hanya menggambarkan sebuah kepribadian yang kukuh, cerdas, lurus, tapi juga
romantis dengan keangkuhan yang memikat. Belum lagi kecintaanya terhadap alam. Membaca
catatan perjalanannya membuat saya ingin mendatangi gunung yang pernah
ditaklukannya.
Komentar