THANK'S OASIS FOR THE GOOD TIMES!
Dan
...
Keseluruhan
dari perjalanan ini cuma sebuah lagu.
Dan
saya menyebutnya tribut.
Dari
seluruh lagu Oasis yang pernah saya dengar, lagu berjudul ‘Listen Up’ merupakan
lagu menyentuh yang paling bernuansa ‘magis’. Melodi, aransemen, dan lirik lagu
ini merangkum soundtrack tentang renungan dan pernyataan dari
seseorang pengelana yang kesepian namun teguh, sedih namun penuh keyakinan, ironis
namun penuh percaya diri. Tempo lagu ini tidak cepat, meski termasuk kategori
musik rock, dibuka dengan gebuhan drum, disusul petikan gitar sederhana, lalu
muncullah suara khas Liam yang tinggi, lantang, dan menantang langit itu –
suara yang masih jernih, ketika kualitasnya masih prima, yaitu era kedua album
pertama mereka: Definitely Maybe dan (What’s the Story) Morning
Glory. Karena kualitas suara Liam semakin lama semakin serak, perubahannya
terlihat di album ketiga Be Here Now. ‘Listen Up’ memang tidak
popular karena tidak dimasukkan ke dalam album komersil Oasis. Lagu ini seingat
saya direkam satu masa dengan masa keemasan Oasis di album Definitely
Maybe – dimana lagu itu sendiri hanya diletakkan Noel di bagian B-side.
Dibanding
‘Listen Up’, ‘Whatever’ adalah lagu kebangsaan: menurut saya ‘Whatever’ berada
di nomor satu daftar lagu favorit saya sepanjang masa, sekaligus lagu nomor
satu dari Oasis, dan lagu yang paling berpengaruh dalam hidup saya. Namun tetap
dalam sisi tertentu, lagu ‘Listen Up’ memiliki nuansa sendu paling ‘magis’ –
sesuatu yang tidak terlupakan dari elemen musik Oasis, dan karenanya saya
tertarik untuk membahasnya sejenak.
‘Listen Up’
Lagu
ini dibuka dengan lirik yang penuh keyakinan – seperti seorang yang baru
melangkah keluar pintu menyapa dunia yang kelam untuk dirinya sendiri,
dinyanyikan dengan nada tinggi oleh Liam:
Listen
up what’s the time said today
I’m
gonna speak my mind!
Take
me up to the top of the world
I
wanna see my crime!
‘Listen
Up’ merupakan single B-side yang akhirnya digabungkan ke dalam album kompilasi
single Oasis berjudul ‘The Masterplan’. Lagu berdurasi 6.21 menit ini bernuansa
‘magis’ dan menyentuh bagi saya karena keseluruhan lagu itu diaransemen dalam
level yang berbeda dari irama rock kebanyakan. ‘Listen Up’ tidak
sentimental-romantik seperti ‘Don’t Go Away’, tapi juga tidak seradikal
‘Whatever’ atau sesederhana ’Wonderwall’ yang legendaris itu. ‘Listen Up’
tidak memiliki momen jeda atau klimaks dan antiklimaks (kecuali di akhir lagu)
– melodinya konstan sepanjang lagu, dan dua elemen yang paling krusial dari
kemagisan lagu itu terdapat pada gitar melodi yang terus dimainkan Noel dan
suara tinggi Liam yang mengisi ruang latar musik yang menggema.
Liriknya
di bagian chorus seperti berikut:
Sailing down the river alone,
I’ve been trying to find my way back
home
But I don’t believe in magic,
Life is automatic
But I don’t mind be on my own…
No I don’t mind be on my own
Lirik itu — disertai keseluruhan rangkaian
aransemennya dan vokal Liam yang tinggi dan melodik — memadukan kesedihan,
kesendirian, tapi juga kemantapan hati. Kisah tentang perjalanan sunyi menuju
‘rumah’ – terlepas dari apapun beban yang dipikul, si pengelana itu tak
keberatan untuk berjalan sendiri. Dan itu ditekankan berkali-kali, ‘I don’t
mind be on my own…(no) I don’t mind be on my own…(I said) that I don’t mind be
on my own…’ Liam menyanyikannya diulang-ulang beberapa kali di akhir lagu,
semacam peneguhan di titik penghabisan – entah tujuan untuk pulang itu tercapai
atau tidak.
Lagu
seorang pejuang kesepian yang heroik.
Saya
menyukai metafora dari liriknya ‘sailing down the river alone…’ — saya
benar-benar membayangkan seseorang yang sedang naik perahu kayu menyisiri
pinggir sungai di tengah hutan. Di lirik berikutnya, ‘…I’ve been trying to
find my way back home’, saya membayangkan ‘rumah’ yang ditujunya berbeda,
bukan sebuah bangunan fisik melainkan suatu imaji abstrak tentang keinginan
pulang: suatu tempat nun jauh di sana, di suatu situasi dan kondisi tertentu –
tempat yang belum terbayangkan, namun mudah dikenal karena melekat di dalam
ingatan.
Keteguhannya
akan apa yang ditujunya sebagai ‘rumah’ terlihat dari lirik ‘I don’t believe in
magic, life is automatic’. Bahwa hidup itu bukan rangkaian keajaiban.
Hidup berjalan otomatis karena sudah ada ’jalan’ yang harus dia ikuti
(’takdir’) namun tetap dia harus berjuang untuk mendapatkan apa yang dia cari,
meski itu harus dilakukannya sendiri – dan pernyataan ini adalah inti
keseluruhan lagu itu: “but I don’t mind be on my own”.Lagu ini tidak berkisah
untuk satu kelompok atau satu pasang orang.
Lagu
ini sungguh untuk satu manusia, per individu, bahwa pada sejatinya
masing-masing dari kita mencari dan menuju apa yang disebut ‘rumah’ itu
sendiri. Kita akan pulang sendiri. Pencarian kita bisa jadi dilakukan
bersama-sama, tapi pada hakikatnya pencarian yang personal selalu tentang diri
dan sendiri. Satu benak. Satu impian. Satu imaji. Satu rumah.
Pulang hanya sekali, dan hanya diri
kita yang bisa kita andalkan pada akhirnya.
Sendiri, Sepi, Yakin: Psikofilosofi
Musik Oasis
Oasis
memiliki beberapa lagu berirama riang dan seru yang merayakan hura-hura,
bersenang-senang, dan kebersamaan. Telinga kita ikut menari ketika menikmati
lagu Cum On Feel the Noise, F**king in the Bushes, Bonehead’s Bank Holiday,
Shock of the Lightning, Round are Way, Cloudburst, Stay Young (soundtrack
film ‘The Faculty’-nya Elijah Wood), Supersonic, Roll with It, Acquiesce,
Some Might Say, dsbnya.
Tapi
terlepas dari nuansa rock n roll yang hura-hura rame-rame, tak sedikit pula
lagu berirama rock dari Oasis yang mengisahkan nuansa sendiri dan sendu (dengan
keyakinan dan ego tinggi yang selalu inheren dalam lirik mereka) meski
aransemen musiknya riang dan bertempo sedang/cepat, semisal:
Fade Away (“I’m
gonna paint you a picture, coz I don’t think you live around here no more. I’ve
never ever seen the key to the door. We only get what we will settle for. While
we’re leaving, the dreams we had as children fade away…”)
Live Forever (“Lately
did you ever feel the pain, in the morning rain, as it soaks you to be bone?
[…] maybe I will never be all the things that I wanna be […] I think you’re the
same as me, we see things they’ll never see…you and I are gonna live forever”)
Rock n Roll Star (“I
live my life for the stars that shine. People said it’s just a waste of time
[…] In my mind my dreams are real. Now you concern about the way I feel.
Tonight, I am a rock n roll star.”)
Banyak
lagu Oasis yang berirama melankolik melodik semakin menonjolkan nuansa sendiri
dan sendu itu:
Going Nowhere (“Wanna
be wild coz my life’s so tame. Here am I, going nowhere on a train. Here am I,
growing older in the rain.”) – yang tak terlupakan dari lagu ini adalah
iringan tuba, biola dan pianonya.
Half the World Away (I
would like to leave this city. This old town don’t smell to pretty and I can
feel the warning signs running around my mind. […] So what do you say? You
can’t give me the dreams that are mine anyway. You’re half the world away.”)
– dinyanyikan Noel dengan iringan gitar akustik dan piano.
Rockin’ Chair (“All
my life, I’ve tried to find another way. […] All my life, I’ve tried to make a
better day. It’s hard enough being alone. […] Its hard enough sitting there.
[…] It’s all too much for me to take, when you’re not there.”) – gitar
melodi akustiknya di sela-sela nyanyian Liam very enjoyable.
Talk Tonight (“I
wanna talk tonight, until the morning light, about how you saved my life. You
and me see how we are.”) – hanya diiringi gitar akustik, dengan latar
sedikit menggema.
–
keempat lagu di atas memiliki makna kerinduan yang implisit. Kerinduan terhadap
seseorang atau sesuatu, imaji yang berkejaran ketika kita sedang merenung
sendiri. Lagu-lagu sendu ini juga bisa didengar dari Waiting for the
Rapture, Underneath the Sky, To Be Someone, D’you Wanna be a Spaceman, Sad
Song, Who Feels Love, Don’t Look Back in Anger, Married with Children, Take Me
Away (lagu sedih yang disumbangkan ke kompilasi album donasi untuk korban
perang Kosovo), Stop Crying Your Heart Out (soundtrack film ‘The Butterfly
Effect’-nya Ashton Kutcher), Stand By Me, dan Don’t Go
Away. Lagu ‘Talk Tonight’ dan ‘Going Nowhere’ sendiri dicipta
Noel dalam keadaan gamang dan sendiri: ‘Talk Tonight’ mengisahkan pertemuannya
yang amat berkesan dengan seorang perempuan saat Noel melarikan diri dari tur
karena marah, dan ‘Going Nowhere’ ditulisnya saat sendiri di sebuah kereta.
Selain
itu, ada juga lagu rock klasik Oasis yang menurut
saya timeless, dengan aransemen yang khas di tiap-tiap lagu, masih
dengan lirik sederhana yang reflektif dan mengisahkan jiwa-jiwa kesepian,
keteguhan, sekaligus sekelumit romantisme:
Whatever (“I’m
free to be whatever I. Whatever I choose and I’ll sing the blues if I want. I’m
free to say whatever I. Whatever I like if it’s wrong or right it’s alright.
[…] Whatever you do, whatever you say, yeah, I know it’s alright.”) – The
greatest part about this song, aside from its universal lyrics, is the violin
and its beautifully sounded orchestra. My main soundtrack of life.
The Masterplan (“All
we know is that we don’t know how it’s gonna be, please brother let it be. Life
on the other hand won’t let us understand why we’re all part of the
masterplan.”)
Wonderwall (”There
are many things that I would like to say to you, but I don’t know how. I said
maybe you’re gonna be the one that saves me. And afterall, you’re my
wonderwall.”)
Cast no Shadow (“Bound
with all the weights of all the words he has to say. Change to all the places
that he never wished to say. As he faced the sun he cast no shadow.”)
– this is a breath-taking music. Oasis’ wisest song, I may say.
Seingat
saya, kalimat yang banyak ditemui dalam lirik lagu Oasis ada 5 macam:
1.
kata-kata afirmasi optimis seperti
“alright” (“I know it’s alright”/”it’s gonna be alright”), “a better day”,
dsb.
2.
ungkapan sendu/sepi (“you bring me down I
think you’re rude”/sitting on my own”/”he walks along the open road of love and
life – surviving if he can”/”you and me what’s going on?”/”in a lonely
place”/”won’t you take me to the edge of night?” dsb.)
3.
deskripsi parodik/ironi (“no more cocaine
it’s only brown choke”/“I hate the way that you are…”/”I was looking for some
action but all I found was cigarettes and alcohol”/”but my God woke up on the
wrong side of His bed” dsb.)
4.
arogansi/percaya diri (“you wanna be
me?”/you wanna be who you be if you’re coming with me”/”where were you while we
were getting high?” dsb.)
5.
petuah (“it’s better people live one
another”/”don’t look back in anger”/”there’s nothing more to be if you can be
the remedy who heals love” dsb.)
Lagu-lagu
Oasis selalu memiliki nilai inheren tentang optimisme, kepercayaan diri, dan
harga diri. Nilai ini selalu tersirat dalam setiap lirik lagu mereka, meski
konteks lagu itu berkisah tentang rasa kehilangan, kesepian, kerinduan,
kesedihan, kegembiraan, atau parodi keangkuhan.
Sepanjang
saya menjadi penggemar berat Oasis, saya juga menyukai musik dari band-band
lain yang waktu itu tumbuh subur juga, semacam The Verve, Blur, Pulp, Shed
Seven, Ocean Colour Scene, Rage Against The Machine (satu-satunya band Amerika
yang saya beri posisi tertinggi), Pure Saturday (satu-satunya band Indonesia
yang saya beri posisi tertinggi), The Who, Garbage, Jamiroquai, Cardigans,
Stone Roses, Radiohead, dsbnya. Kini saya masih menikmati hasil warisan Brit
bands tahun 1990-an seperti Coldplay. Selain itu, menurun dari selera
ayah saya, saya juga masih menikmati musik jazz, soul, dan klasik jaman dulu
(Earth Wind & Fire, Al Jerrau, George Benson, Natalie Cole, dsbnya).
Penularan ini juga gara-gara ayah saya dulu musisi dan pegiat radio amatir, serta
penggemar The Beatles yang mengoleksi semua album piringan hitamnya. Saya
sendiri menjadi fans Oasis sejak SMP gara-gara sepupu saya, dan seringkali tiap
pulang sekolah saya akan ke kamarnya dan mengutak-atik deretan kaset dan CDnya.
Terlepas
dari begitu banyak lagu dan musisi baru bermunculan di tahun 2000-an ini,
selera saya sepertinya sudah nyangkut di era 1990-an. Saya sudah temukan Oasis
sebagai the most influential band. Saya masih menikmati musik-musik jaman
sekarang dan memasukkan sebagian ke koleksi saya, tapi sudah jarang. Mungkin
juga karena alokasi waktu saya untuk menjadi pengamat musik tidak semasif dan
seintens jaman remaja dulu. Koleksi lagu-lagu saya kebanyakan berada di era
1990-an dan mundur terus ke belakang.
Definitely Morning Glory, Noel!
Oasis
bubar di tahun 2009. Begitu mendengar mereka bubar, saya menelusuri kembali
jejak-jejak mereka dengan seharian menonton Oasis di youtube. Saya kembali
menyimak videoklip-videoklip mereka yang dulu setengah mati saya tunggu di MTV,
mengunjungi situs resminya, mendownload koleksi lagu-lagu mereka yang dulu
sempat hilang, dan menyimak banyak interview Noel dengan wartawan dan masih
tetap mengaguminya sebagai seorang musisi jenius yang charming.
Noel
Gallagher lah yang memberi nyawa bagi Oasis. Kalau Liam adalah si
berandal cool serba gak jelas yang tetap tak tergantikan sebagai
vokalis khas Oasis, Noel adalah si gitaris dan penulis lagu produktif dan
kreatif yang menjadi denyut musik Oasis. Dia pernah dijuluki ‘the wise man of
rock n roll’, bukan karena egonya yang hampir sama keterlaluannya dengan Liam,
tapi karena campuran yang luarbiasa dari rasa humor, kesantunannya yang rada
janggal tapi alami, petuah-petuah yang serba apa adanya, dan sikapnya yang
cuek, jujur, namun reflektif. Dia tidak menyelesaikan SMA-nya, tapi terkesan
terpelajar.
Keseluruhan
gaya Noel membuat saya paham darimana musik Oasis itu bersumber: yaitu kualitas
musik yang tinggi dan lirik-lirik puitis sederhana yang jauh dari semburan
sumpah serapah dan vulgar ala band rock lain. Selalu ada kesan terhormat dari
cara Brit bands bermain rock n roll – dan Oasis menunjukkan itu dengan jelas
dari musik mereka.
“I
am older now, I am an older gentleman”, kata Noel dalam sebuah wawancara ketika
berkomentar tentang masa hura-hura dengan heroin yang kini udah dia tinggalkan.
Arogansi masa lalunya yang senang mengumbar perlahan termatangkan oleh waktu
seiring semakin matangnya pula proses bermusik dan usia mereka. Arogansi
bertransformasi menjadi kepercayaan diri. Playboy bertransformasi menjadi
seorang ayah dan suami. Sebagai seorang penderita dyslexia yang tumbuh dalam
keluarga miskin yang penuh kekerasan, bisa dipahami bahwa musik dan lirik Oasis
adalah mozaik dari pengalaman, imajinasi, dan hal-hal instan yang ada di kepala
Noel. Noel bersikeras dalam sebuah wawancara bahwa lagu-lagunya mencerminkan
optimisme hidup, dan itu betul, namun optimisme yang tertuang dalam musiknya
adalah optimisme yang bersumber pada individualisme: terlepas dari sepi,
bingung, dan angkuh, terlepas dari segala yang suram, “aku baik-baik saja” dan
“aku akan bisa meski kuhadapi sendiri” – sebuah optimisme yang keluar dari satu
pergulatan dan siap untuk memasuki pergulatan yang lain sebagai manusia bebas.
Meski
ada satu-dua tuduhan menjiplak lagu oranglain dalam karir Noel, otentisitasnya
tidak terletak dari kumpulan irama-irama yang terinsipirasi dari The Beatles
dan lainnya atau dari insiden penjiplakan lagu, tapi dari hasil akhir semuanya
itu, yang diproduksi dari kreativitas dan bakatnya. Sebagian besar lagunya
tetap otentik: tidak ada yang bisa menyamai kekhasan ‘The Wonderwall’, atau
bagian chorus yang tinggi melodik dari ‘Don’t Look Back in Anger’, atau nuansa
‘high’ yang psychedelic dari ‘Champagne Supernova’. Album ‘(What’s the Story)
Morning Glory’ adalah salah satu album terbaik sepanjang sejarah,
sebagaimana pernah dilansir oleh majalah Time, dan lagu ‘Live Forever’ dari
album ‘Definitely Maybe’ menduduki peringkat satu dalam urutan lagu terpopuler
di Inggris sepanjang masa versi Q Magazine, mengalahkan rekor The Beatles.
‘Thank You for the Good Times’:
Sebuah Epilog
Thank you, Oasis, for the good
times! Musik dan aura yang merangkumi karir mereka menemani saya tumbuh
sebagai remaja, dan bahkan kini lebih dari sepuluh tahun sudah saya menjadi penggemar
setia mereka. Oasis tetap tidak tergantikan meski di satu sisi gaya busana saya
berubah, kehidupan saya berubah, perspektif saya meluas,
pertimbangan-pertimbangan relijius saya pun lebih kentara ketimbang dulu,
dsbnya. Saya sudah mendapat esensi dari musik Oasis – sesuatu yang mendalam dan
humanis, terlepas dari citra rock n roll dan kontroversi mereka yang amburadul.
‘Thank
You for the Good Times’ adalah salah satu lagu Oasis ketika masa-masa puncaknya
sudah berlalu, ketika orang dengan rambut ala Liam, stiker dan kaos-kaos hitam
putih berlambang Oasis sudah tidak lagi beredar. Era letupan kejayaan Brit
bands di tahun 1990-an mulai diganti oleh nuansa musik yang lebih beragam. Awal
abad 20 adalah tempat dimana kontestasi musik pop, rock, alternatif, dsbnya
lebih mendapat porsi yang sama, kecuali bahwa lagu-lagu pop kacangan masih
menjuarai selera pasar.
Meski
begitu, saya bersyukur karena para grup boybands dangkal dan cengeng itu sudah
tamat riwayat dihajar Brit bands dan band-band rock lain di era 1990-an
sehingga mereka punah di tahun 2000-an.
Kepunahan
gaya boybands itu membuat Backstreet Boys, Hanson, dan The Moffats akhirnya
banting stir: dari citra pemuda manis anak mama menjadi pemuda rock yang
terlihat lebih garang. Tentu saja ini gagal total, terutama karena
pemuda-pemuda bergaya (pura-pura) macho itu masih setia dengan mainstream
lagu-lagu mereka. Dan tentunya satu yang pasti: penggemar setia mereka tidak
pas dengan citra baru macho mereka, dan penggemar musik rock benar-benar tidak
menerima mereka ke dalam kasta kategori rock meski para boybands itu memakai
jaket kulit dengan tampilan lebih maskulin.
Kini,
saya tidak sesering dulu mendengar lagu Oasis, meski koleksi mereka saya simpan
rapi di komputer. Kadang saya lompati lagu mereka dari playlist. Namun selalu
ada momen saya menyimak kembali lagu-lagu mereka di playlist, dan greget itu
tidak pernah hilang: ’Whatever’ tetap membuat saya terharu, ’Listen
Up’ akan membuat saya trenyuh, ’Talk Tonight’ selalu membawa saya
pada kesan romantisme sederhana, dan dengan sedikit tak lazim lagu ’Little By
Little’ mengingatkan saya pada kebaikan Tuhan dan keimanan saya pada-Nya.
Musik
Oasis adalah spiritualisme sekuler dalam perspektif psikofilosofis saya –
sesuatu yang entah kenapa hanya bisa dihayati dalam kesendirian. Bahkan
keriangan dan optimisme dalam lagu-lagu mereka selalu saya nikmati ketika saya
sendiri, dan dengan itu saya bisa menangkap lirik dan terserap dalam aransemen
musiknya.
Jadi,
saya akan berdiri penuh hormat, dan berujar, ”Thank you for the good
times!” – and surely for the bad times they turned into
good.
“One fine day, gonna leave it
all behind.
And would it be so bad if I had more
time?
Sailing down the river alone,
I’ve been trying to find my way back
home,
But I don’t believe in magic,
Life is automatic
But I don’t mind be on my own.”
Komentar
Someday you will find me
Caught beneath the landslide
In a champagne supernova in the sky
Someday you will find me
Caught beneath the landslide
In a champagne supernova
A champagne supernova
Tenggelam dalam lirik