MENTAL SWASTA


      Tema tentang isu-isu sosial di Indonesia terlampau luar biasa peliknya, dan ini mengingatkan saya pada tiga hal yang agak kurang enak di telinga.
      Pertama, anekdot tentang seorang ibu yang datang berkonsultasi kepada seorang psikiater mengenai tiga putranya yang membuat frustasi. “yang pertama seorang idiot,” katanya, “tapi tak apa, bisa saya relakan dan manage. Yang kedua sisoprin: ini pun okelah, asal tidak mengamuk. Tapi, yang ketiga itu lho, Pak .... ampun betul.”
      “Lho kenapa?” tanya sang psikiater. Ibu itu menjawab dengan suara yang sudah hampir tidak bisa keluar dari mulutnya, serta sambil meneteskan air mata, “dia pegawai negeri..!”
      Ketika hal tersebut sama-sama merupakan kasus dunia modern dan manusia modern, serta sama-sama menyindir ironi sehubungan dengan faktor kemandirian dan kreatifitas yang notabene selalu dianggap kartu modernitas manusia yang menyebut diri modern. Realitas selalu bersifat ganda: engkau bebas terikat atau mengikat diri. Manusia dengan dunia-dunia modern ialah keputusan untuk menyerahkan kemanusiaannya kepada sistem-sistem organisasional yang besar dan yang sejak semula sengaja memerlukan “zat manusia” lebih sebagai fungsi-fungsi. Manusia bukan lagi berfungsi melainkan manusia adalah fungsi. Dengan bahasa jelas: subjek menjadi faktor instrumen.
      Sudah pasti dongeng itu menyakitkan hati, bahkan hati saya yang sumpah mati bukan seorang amnetar. Ia seorang subversif dari alam pikiran yang selama ini “boleh” muncul di permukaan kehidupan masyarakat kita yang makin “mapan” ini. Apa salahnya menjadi pegawai? Apa yang bisa kau tuding dari sebuah pilihan, apalagi “pilihan” itu berdasarkan pada keniscayaan kapasitas.
      Adapun hal kedua yang teringat oleh saya ialah katakan seorang tokoh dalam repertoar drama “Mas Dukun” karya Yamawidura menunjuk salah satu keadaan terpenting dari mentalitas kaum muda sekarang: “disekolah, oleh cairan-cairan kimia pendidikan tertentu, darah anak-anak muda yang berwarna merah diproses dan diubah mejadi biru tua. Darah biru. Darah Priagung!”
      Sedangkan hal ketiga adalah berita dari sebuah daerah nusantara, pada ajaran baru tahun kemarin, peminat Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas merosot tajam. Tak ada penelitian “resmi” yang dilakukan, tetapi kabarnya banyak orangtua murid yang berkata seperti ini: “untuk apa memasukkan anak-anak untuk menjadi manja, tak mau lagi dekat-dekat dengan segala macam kerja kasar. Padahal, ijazah Sekolah Menengah pun tidak menjamin anak saya bisa memperoleh sekedar kerja kasar..”
      Dalam drama “Mas Dukun” yang disebut di atas, sang tokoh juga berkata tentang seorang pejabat: “Ia memutuskan sesuatu tidak berangkat dari hati nurani atau kesadaran akal sehat, tetapi dari hukum-hukum saling ketergantungan teknokratis tatanan tempat ia menggabungkan diri secara subordinatif. Sesungguhnya yang kita impikan darinya ialah ruang-ruang swasta di dalam diri kemanusiaannya. Arti modernitas saat ini ialah mentalitas swasta...”
      Ibu yang datang ke psikiater desa, bisa saja kita tuding sebagai misalnya mewakili kekecewaan kaum marjinal; seperti juga dongeng lain tentang gajah mengamuk yang akhirnya takluk dan menangis sesudah ia dibisiki mulai besok harus jadi pegawai negeri. Dua kisah berikutnya juga bisa kita jawab dengan mengatakan: persoalannya bukan bagaimana menghindari bagaimana, meskipun itu juga bukan anjuran agar setiap menteri baru seenaknya bikin mainan baru di ladang-ladang puluhan juta anak-anak bangsa.
      Akan tetapi, sesudah semua usaha menghidari diri tersebut kita tak bisa untuk berkata bahwa ketiga dongeng tersebut bukan tidak benar adanya.
      Kita sedang mencoba mempersoalkan kecenderungan-kecenderungan mentalitas yang bagaimana yang ditumbuhkan dan didorong oleh usaha-usaha peradaban kemanusiaan yang kita sebut pembangunan. Kita mencoba tahu kembali filsafat pendidikan apa yang kita pilih sehingga murid-murid sedemikian kita konsentrasikan untuk hanya tahu daripada mengerti dan bisa. Kita mencoba memahami kembali kultur politik macam apa yang membuat mahasiswa itu meyakini bahwa kampus adalah sebuah “negara steril” di tengah negara (“Jangan berpolitik di kampus, belajar dulu baik-baik”) sementara begitu jelas kampus merupakan bagian yang amat niscaya dari kekuasaan negara. Kita mencoba mafhum dorongan psikologi-ekonomi macam apa yang menentukan pandangan seirabg terhadap sebatang lidi, sebuah tanda tangan, gelar kesarjanaan atau jabatan yang marketable. Kita mencoba mengerti tradisi stamina kesejarahan macam apa yang membuaat anak muda bisa begitu gampang menjadi progresif, kemudian begitu gampang pula menjadi kompromis. Kita mencoba melihat kembali perspektif informasi yang mana yang sampai kepada anak-anak masyarakat sehingga common sense mereka terhadap persoalan-persoalan keadilan tidak tumbuh subur, sehingga ketersentuhan terhadap wajah-wajah ketertindasan manusai kurang terdidik, sehingga mereka senang untuk berpendapat bahwa sukses ialah mendaki tangga-tangga kekuasaan dan perolehan karier.
      Kita mengingkari kembali beda antara ayam kampung dengan ayam ras. Kita menghibur diri bahwa dalam kemapanan keadaan yang hampir tidak terganggu gugat semacam ini, wajar apabila makin sedikit “ayam-ayam liar”, makin tipis nyali untuk tidak bermimpi mendaftarkan diri ke “kandang-kandang” industri ayam; wajar bahwa makin banyak “ayam” yang hanya tahu bagaimana meninggalkan kandang atau dengan bahasa modern kita sebut sebagai proses elitisasi ekonomi dan sosial budaya.
      Arti pembangunan yang kita selenggarakan ialah hijrah terang-terangan dari pekerjaan fisik pekerjaan mental. Interkoneksi aktiitas fisik dan mental manusia diperjelas secara modern polaritasnya; pertama dengan acuan-acuan ontologis, kemudian dengan terapan sistemik. Terapan itu tidak sekedar untuk meyakinkan diri bahwa kita bukan lagi masyarakat primitif yang hanya tahu hidup secara instingtif ketika kedua faktor itu tidak saling mengambil jarak. Lebih dari itu; hijrah tersebut sangat mengandung arti kekuasaan dan profit.
      Akan tetapi, yang kita sebut “masyarakat primitif” itu menjadi justru menarik bukan karena tak ada yang melebihi “masyarakat modern” dalam hal “mengeksploitasi bumi” serta destruksi terhadap alam dan kemanusiaan, melainkan karena merka belum mengalami penjajahan manusia-mental terhadap manusia-fisik, perbudakan manusia-halus terhadap manusia-kasar, atau penindasan manusai-tinggi atas manusia-rendah.
      Hal itu terjadi justru berlangsung pada jauh pasca primitif dengan rumus yang berbeda-beda, yakni pada zaman perbudakan dalam arti verbal maupun ketika itu merupakan perbudakan “canggih: dalam masyarakat feodal dan masyarakak kapitalis meskipun tentunya ya tidak pada masyarakat Pancasila.
      Kecanggihan itu diorganisasi lewat apa yang kita sebut pembagian kerja, dimana karena faktor “pemikiran pribadi”, “lapis sosial”, dan faktor “negara” pekerjaan mental merupakan jatah khusus bagi elite penguasa.
      Masyarakat feodal mengerjakan penjatahan itu dengan menyusun trap-trap status sosial, sedangkan masyarakat kapitalis menerapkannya dengan merekrut tenaga intelektual profesional untuk menjadi instrumen penguasa ekonomi dan poltiik dalam mendominasi trap manusia-pekerja (kasar). Kita pergi ke sepenuhnya merancang. Kita pergi sepenuhnya merancang diri untuk menjadi instrumen semacam itu. Negera berfungsi sebagai perusahaan dan universitas di[esan dan dibiayai dan memasak onderdil bagi mesin-mesin perusahaan itu. Maka, sangat tidak mengherankan kalau kita menjuamapi suatu model kurikulum yang mendidik para murid untuk sekedar menjadi robot yang terampil atau menjadi komputer yang segala sesuatunya diprogram; seorang mahasiswa kabarnya harus menjawab pertanyaan ujian berdasarkan pemograman tersebut.
      Kalau soal itu kita bicarakan sebagai filsafat kemanusiaan, maka yang antara lain diberlangsungkan oleh apa yang kita sebut pembangunan ialah proses reduksi manusia, bahkan kita semua tahu proses dehumanisasi.
      Sejauh yang kita ketahui pada masyarakat kita, proses kapitalisasi manusia itu selama ini berlangsung komplementer dengan sangat gencarnya usaha refeodalisasi susunan antara manusia atau kelompok sosial dalam masyarakat. Tumbu bertemu tutup. Kita sudah mengerti semua dalam feodalisme itu gambar priyayi ialah “seorang yang duduk di kursi, kakinya tidak menyentuh tanah dan kepalanya dilindungi dengan payung”.
      Itu lebih dari sekedar metafora; Ia realitas yang sebenarnya. Menjadi “manusia pembangunan” ialah berusaha menjadi pintar dan kaya. Menjadi pintar dan kaya ialah kaki tidak menyentuh tanah dan kepala dilindungi payung; maknakanlah itu secara politis, ekonomis, dan kultural. Menjadi pintar dan kaya ialah menaiki trap-trap, menggapai puncak negara atau perusahaan. Menjadi pintar dan kaya adalah urbanisasi dari keadaan sebagimana manusia fisik menjadi manusia-mental, dari manusia tinggi menjadi manusia-rendah, atau bahkan menjadi orang dari keadaan bukan orang.
      Dengan demikian, menjadi pintar dan kaya dalam mekanisme macam itu berarti menjadi priyayi. Kaki tak memijak tanah berarti perjuangan elitisasi pribadi dan kepala dilindungi payung berarti pengabdian dan kesetiaan terhadap pusat-pusat kekuasaan.
      Seorang mahasiswa “loyalis” dan “karieris” cenderung selalu bersikap reaksioner terhadap setiap gelagat cuatan sikap atua pemikiran daari kiri ke kanan. Seorang mahasiswa lain yang “progresif” perilaku seperti “benih” dari suatu bayangan tiran pada masa datang; ia tak sekedar mengancam segala sesuatu yang dianggapnya mapan, tetapi juga menentukan apa saja yang seharusnya dipelajari oleh teman-temannya.
      Alangkah luas wilayah yang relevan untuk disentuh ketika harus kita perbincangkan tema ini. Akan tetapi, saya sama sekali tak percaya bahwa manusia bisa disentuhnya menjadi korban atau akibat belaka dari mekanisme sejarah yang mengirinya. Persis seperti saya tak pernah percaya bahwa manusia pernah sungguh tidak melawan sesuatu yang memenjarakannya.
      Manusia selalu melawan; bahkan tak pernah ia tak berperang melawan dirinya sendiri. Apalagi terhadap sesuatu dari luar dirinya kalau tidak dengan tangannya (perwujudan, sistemisasi, aplikasi), ia melawan dengan mulutnya (informasi, dakwah, pendidikan, sosialisasi ide). Kalau tidak dengan mulutnya akan dengan pikirannya akan dengan instingnya. Jiwa manusia selalu mengadakan perlawanan meskipun hal itu bisa tidak diketahui oleh akal pikirannya.
      Model yang terakhir itu tentulah yang terlemah. Biasanya ia berperan eskapisme. Tetapi, bukanlah kita saksikan bersama bahwa justru di tengah puncak kedahsyatan represi oleh kekuasaan yang memiliki sejarah itu lahir kelompok-kelompok kaum muda yang berpikir, yang prihatin, yang menggeliat, yang mempertanyakan dan mempersoalkan berbagai pemapanan? Bukankah juga dalam kedahsyatan itu bermunculan makin membengkak usaha-usaha swadaya, perintisan daya negosiasi kaum pinggirian (sosial, ekomoni, politis, kultural) bahkan dengan dana miliaran dari mancanegara meskipun boleh juga kita mengkhawatirkan bahwa institusi independen itu akan tahu berkembang menjadi secam birokrasi baru, perusahaan baru, negara baru?
      Jika gelagat itu tiba, amati langkahnya...
     



Komentar

Postingan Populer