MENGAPA "BUDAYA" ITU PENTING?
Salah
satu pengertian budaya ialah tingkat-tingkat mutu ekspresi manusia. Jika
seorang suami marah kepada istrinya atau seorang bapak kepada anaknya, kita
bisa mengukur tingkat kualitas budaya mereka dengan cara melihat pola ekspresi
atau “cara marah” mereka.
Suami dan bapak itu mungkin geram dan
memaki-maki. Atau membanting gelas, memecah kaca, atau bahkan memukuli orang
yang dimarahinya. Atau mungkin mereka mengendalikan tenaga amarahnya,
mengendapkan inti permasalahan yang membuatnya marah, kemudian mengungkapkannya
melalui cara-cara yang lebih halus. Misalnya, mencari kesempatan untuk mengajak
istri atau anak untuk berdialog, merundingkan persoalan, dan bersama-sama
mencari dan menemukan jalan keluar untuk menyelesaikan masalahnya.
Cara yang bermacam-macam untuk marah
mengindikasikan taraf kedewasaan budaya seseorang.
Dalam khazanah Jawa, ciri khas “kaum
priyayi” adalah kesanggupannya untuk mengendalikan segala macam emosi yang
menggejolak di dalam jiwanya. Ekspresi budaya seorang priyayi yaitu
mengandalkan kehalusan. Untuk melihat mereka marah, jangan ditunggu kapan ia
membakar rumah, memasukkan tinja ke dalam sumur, atau mengamuk menjadi-jadi;
melainkan barang kali cukup melihat roman wajahnya, sorot matanya, atau segala
kandungan implisit di balik perilaku yang seolah-olah tak marah.
Dengan memberi contoh tentang priyayi ini
tidak dengan sendirinya saya sedang mengidentifikasi tingkat budaya tinggi
dengan kadar kepriyayian. Yang ingin saya tekankan adalah etos kedewasaan
sebuah kepribadian yang termuat pada kriteria budaya kepriyayian. Namun, kita
telah ketahui bersama dalam praktik kebudayaan Jawa, etos priyayi itu telah
mengalami pergeseran, distorsi, bias, bahkan lebih identik dengan
dimensi-dimensi feodalitis dan peletakkan hubungan antar manusia secara
stratifikatif. Karena itu, sekali lagi, tekanan saya adalah pada proses-proses
kualitatif ekspresi manusia yang menunjukkan kematangan budayanya.
Harus diingatkan juga bahwa pola ekspresi
itu sebgai indikator budaya manusia dan masyarakat, hanya salah satu dimensi
belaka dari pengertian tentang budaya dan kebudayaan.
Pada kesempatan lain tentulah kita
memerlukan uraian-uraian yang mengupas dimensi-dimensi lain.
Suka Asmat di Papua, ketika salah seorang
warga mereka meniggal dunia, mereka menangis dengan puisi. Mereka
meraung-raungkan syair yang musikal selama tiga hari tiga malam. Merka memiliki
pola dan kadar keberbudayaan tertentu dan muatan syair duka mereka sama sekali
tidak kalah dari hasil karya para manusia beradab yang telah mengenal
agama-agama dan ilmu pengetahuan modern. Kita diajarkan untuk tidak bersikap
arogan atau memandang rendah mereka hanya karena pakaian dan peralatan hidup
mereka sehari-hari kita anggap primitif sebab kadar keberbudayaan merka lebih
ditentukan untuk pola dan muatan ekspresinya.
Cara kita semua marah, cara kita
bergembira dan bersedih, cara kita bedagang, cara kita menjalani lalu lintas
perpolitikkan, cara kita memimpin masyarakat dan negara sesungguhnya
mencerminkan tingkat mutu budaya kepribadian kita. Ketika kita menjalani
mekanisme konglomerasi ekonomi yang steril dari nurani keadilan sosial, ketika
kita menyelenggarakan kepemimpinan sosial politik yang terpusat pada
egosentrisme dan subjektivisme diri maupun kelompok, srta ketika kita
menjalankan roda keagamaan dengan sikap “benar sendiri”dan “menang sendiri”,
sehingga keahlian kita adalah menajis-najiskan dan membuang orang lain yang
kita anggap kotor sesungguhnya memantulkan tingkat keberbudayan kita.
Bisa saja kita berperan sebagai pemimpin
negara yang dipuja-puja karena kepakaran strategis dan taktis, atau sebagai
pemuka sosial, pemuka kaum beragama yang dijunjung-junjung; ternyata dalam
perspektif budaya kita masih menyimpan kadar-kadar budaya primitif yang serius,
tetapi tidak kita sadari.
Anak-anak kita begitu lulus ujian akhir
langsung mendemonstrasikan cara-cara kurang berbudaya untuk bergembira dan
bersyukur. Mereka corat-coret baju mereka, berpesta pora, minum-minuman keras
atau bahkan berkelahi satu sama lain.
Renungkanlah; untuk bergembira saja mereka
tidak mampu menentukkan bentuk yang pas dan pantas. Renungkanlah, betapa kita
telah gagal mendidik anak-anak kita tentang bagaimana cara bersyukur yang
berbudaya.
Itu sekedar contoh kecil. Kita pun tahu
bahwa kadar-kadar budaya primitif anak-anak kita sesungguhnya sekedar
merefleksikan muatan-muatan primitif kita sendiri yakni kaum tua negeri ini
dalam menangani realitas sosial, memanajemen politik, ekonomi dan hukum, serta
nilai-nilai kehidupan lainnya yang mendasar.
Oleh sebab itulah, sering kita mendengar
bahwa “kesenian itu gunanya untuk mengasah hati nurani dan kehalusan budi”. Dua
hal itu merupakan nukleus dari “budaya”.
Semoga tulisan ini bisa mengatur kita
semua ke dalam ajang untuk melatih, mengasah naluri dan kehalusan budi kita di
tengah gegap gempita aman yang semakin penuh primitivitas dan kebinatangan.
Komentar