KULTURALISME BANGSA PESOLEK
Kulturalisme yang saya
maksudkan adalah suatu keberlangsungan sosial ketika sejumlah kesepakatan
aturan, tata etika, norma hukum, logika politik, nalar profesionalisme,
rasionalitas birokrasi, atau juga patok-patok keagamaan menjadi relatif atau
sengaja direlatifkan oleh pola-pola tertentu dari perilaku budaya komunitas
pelakunya.
Pada kasus tertentu
relativitas itu berupa pengutamaan pola kulturan dan sebagainya di atas
dimensi-dimensi sosialitas lainnya. Ia, di satu sisi, mengambrukkan fundamen
dan pilar tertentu dari konvesi formal bagaimana suatu negara dan masyarakat
diselenggarakan dan ditata. Sementara di sisi lain, ia mungkin, justru menjadi
faktor penyangga.
Selama puluhan tahun
jalanan panjang (keinginan) moderinitas bangsa kita, terasa betapa proses
perubahan menuju tahap-tahap demokratisasi, kreativisasi, rasionalisasi, atau
kita sebut saja modernisasi dalam arti menyeluruh antara lain oleh kuatnya
kecenderungan kulturalisme bangsa ini.
Ketika kita menyebut
bahwa bangsa kita memiliki “bakat” sinkretistik yang serius dan khas,
kasus-kasusnya mudah dipahami melalui setiap gejala kulturalisme. Kita selalu
bisa menerima apa saja: tidak untuk sungguh-sungguh menerima, tetapi untuk
kita”tekuk-tekuk” berdasarkan pola kulturalisme yang entah sejak kapan kita
miliki dan entah kapan akan mungkin terkikis.
Subordasi
terhadap Budaya
Dalam
hal ini saya tidak sedang mempersoalkan apakah hal ini merupakan kekuatan atau
kelemahan, apakah baik atau buruk, benar atau salah, menggiurkan atau
menjengkelkan. Saya hanya akan mengemukakan bahwa kita tak pernah punya
keberatan apapun untuk umpanya mengakomodasikan paham demokrasi. Namun, itu
tidak berarti bahwa penerimaan itu telah mengubah kita menjadi “manusia dengan
cita-cita demokrasi” meskipun di sebagian kalangan masyarakat kita bukan tak
ada upaya untuk memproses diri menjadi “manusia demokratis”.
Akan
tetapi, secara keseluruhan “watak besar” kita adalah “manusia pesolek. “bangsa
pesolek”. Kerajaan kulturalisme kita tidak pernah cukup bodoh untuk serta merta
mengangkat tamu yang bernama demokrasi itu menjadi raja. Kita menerima
demokrasi untuk kita jadikan punggawa atau pegawai yang harus senantiasa
menyesuakan atau mennyubordinasikan diri pada seluruh tatanan agung
kulturalisme adihulung kita.
Demokrasi
adalah permata impor yang sangat menarik hati untuk dipasang sevagai aksesori
budaya. Jargon nasional kita untuk itu sangat gamblang:
“demokrasi kita bukan sembarang demokrasi,
bukan demokrasi liberal dan bukan apa pun saja lainnya, melainkan demokrasi
yang kita sesuaikan dengan budaya warisan nenek moyang kita sendiri.”
Sampai
takaran tertentu hal yang sama mungkin terjadi pula kepada tamu lain yang
bernama agama. Tentulah saya tidak sedemikian berani “meremehkan” hubungan
antara bangsa kita dengan agama yang dipeluknya. Tetapi, raksasa ritus yang
menguasai perilaku budaya keagamaan bangsa kita adalah wakil tajam dari
kulturalisme yang saya maksudkan.
Saya
juga tidak berpendapat bahwa proses internalisasi keagamaan yang dilakukan oleh
bangsa kita tidak bersungguh-sungguh mengorientasikan dirinya ke dalam
perspektif teologi, kosmologi, dan filosofi sebagaimana agama itu sendiri
memaksudkannya. Tetapi, itu semua dikemabarai dan digagas sejauh
sinkrinisasinya dengan pola kultur yang ada.
Dari
sisi lain mungkin justru itulah yang disebut “membumikan” nilai-nilai agama.
Itulah domestikisasi dan pembumian agama. Jadi, yang saya maksudkan adalah sisi
lain ketika kultur mengatasi agama, menentukan dan merancang bangunan
keagamaannya sendiri berdasarkan dominasi “kerajaan kultur” tersebut. Pada
berbagai kasus, kita menyebut gejala itu sebagai: “Agama berfungsi hanya
sebagai pembenar kemapanan kultur.” Dengan kata lain, nilai-nilai agama
diterima sejauh merupakan pembenaran. Saya kira kita bisa mendaftari ratusan
kasus untuk itu...
Komentar