LINGKUNGAN? SIAPA YANG MIKIRIN?

Hari Bumi yang jatuh pada 22 April memang terasa masih lama, namun jika sekali terlewat seolah tenggelam dalam rutinitas kehidupan kita. Khususnya di negeri ini, hari bumi  terlewatkan begitu saja di tengah isu-isu yang lebih menarik seperti isu-isu politik, mumetnya ekonomi, ketatnya persaingan dalam dunia olahraga, berita kriminalitas dan sensasi para seleb tanah air. Dan sepertinya tidak banyak yang bisa kita perbuat yang berkaitan dengan upaya pelestarian alam, dibandingkan dengan laju kerusakan yang terjadi dan kita rasakan secara langsung.  Karena hingga detik ini manusia masih merasa superior terhadap alam, yang merasa bahwa manusia adalah sang penakluk alam. Berjalan gagah dengan pedang kerakusan. Ada perlunya kita menengok ke belakang, meniti kembali pandangan filosofis dan sosiologis  hubungan manusia dengan alam.

Pandangan terhadap alam, kajian Sosiologis

Mari kita perhatikan pandangan Freud, yang menyatakan  bahwa hubungan antara sosial dan tatanan alam tidak dapat hanya dipisahkan secara radikal antara alam dan sosial, tetapi hubungan itu hendaknya memperhatikan bahwa dasar hati manusia perlu ditata, karena manusia mempunyai libido id yang dengan segala hawa nafsunya yang agresif dan berpotensi menimbulkan kerusakan.

Libido di sini beorientasi pada sifat menguasai, menggagahi, dan segala kerakusan.  Eksistensialisme memunculkan apa yang namanya sebagai ideologi ekspansi   untuk menguasai, yang selanjutnya melahirkan imperialisme. Das es atau id disebutkan oleh Sigmund Freud sebagai sumber hawa nafsu, yaitu kumpulan destruksi nilai yang hanya mengejar kesenangan belaka. Dari posisi inilah segala khayalan dan keinginan tentang kenikmatan organisme terbentuk. Dari posisi ini pulalah tragedi buah Khuldi terjadi, tragedi Habil dan Qabil terjadi. Dan sesungguhnya segala dosa dunia bersumber dari das es. Ultra materialisme dan atheisme atau berhalaisme yang menjadikan duniawi sebagai tujuan akhir bersumber dari das es. Kutipan menarik ini saya peroleh dari Buku Budaya, Bahasa, Semiotika, sebuah catatan Kecil.
Dalam pandangan Plato, hasrat atau libido menghalangi manusia dari philosophia.  Das Es juga dapat diistilahkan sebagai hasrat atau libido, yang berakar dari alam bawah sadar manusia, dalam wacana aspek konstruktif. Di sisi lain, hasrat atau libido adalah suatu tungku api yang memanaskan, sebagai motivator dalam mencapai tujuan dan cita-cita, menjadi energi yang luar biasa, dan gairah untuk  melakukan sesuatu yang bermanfaat, berkreasi dan  melakukan inovasi, untuk mencapai kesejahteraan hidup.

        Bagaimana pandangan Marxis? Seperti yang telah kita tahu, sistem pemikiran Marxisme dapat dikatakan sebagai penolakan terhadap kapitalisme. Filsafat Marxis merupakan suatu filsafat yang sepenuhnya ekologis: manusia diletakan dalam rahim alam secara utuh, adalah bagian dari alam, sarana yang diciptakan oleh alam demi perkembangan lebih lanjut alam sendiri, demi pemanusiaan terakhir alam, bagi Marxis tak ada satupun dalam diri manusia menyeruak mengatasi alam). Dalam pemikiran Marxisme  hubungan dengan obyek lingkungan adalah keterlekatan masyarakat dengan alam, dan ketergantungan produksi manusia pada kekuatan produksi dan regeneratif alam.

Ronaldo Munck dalam artikelnya yang berjudul “Red and Green : Marxism and Nature”. Memberikan pandangan yang cukup menarik, ada suatu yang kontradiktif pada diri Marx. Bagi Marx, alam adalah sebuah objek yang harus dikuasai, namun bagaimanapun harus ada batas-batas tertentu dalam prosesnya, yang mana batas tersebut bukan berarti batas alami, yang sudah ada dan merupakan bagian dari alam, namun batas tersebut ada atas hasil dari interaksi manusia dengan lingkungan alamnya. Akan tetapi Marx menyalahkan determinasi teknologi, kapitalisme dan Tekanan-tekanan ekonomi menyebabkan terganggunya hubungan interaksi antara manusia dan bumi. Demikianlah manusia secara angkuh merasa drinya dapat memerintah dan membentuk alam berdasarkan kemauannya.

Sejak tahun 80-an memang kesadaran ekologis (Ecological Awareness) manusia secara kolektif semakin massif. Ini merupakan suatu respon atas segala kegelisahan yang terjadi, terhadap segala bencana demi bencana alam yang dialami alami umat manusia. Muncul suatu kesadaran bahwa alam tidak hanya diam lewat kebisuan tetapi ternyata alam berdialog dengan kita umat manusia dengan caranya sendiri.

Kini jelas kita lihat, dan telah nampak sejelas jelasnya bahwa karena maksimalisasi keuntungan yang merupakan salah satu prinsip kapitalisme, memberikan tekanan yang luar biasa hebat terhadap alam, eksploitasi atas nama kesejahteraan, yang justru distribusinya tidak dirasakan secara merata, sementara alam dan lingkungan menjadi budak yang penuh dendam. Akhirnya ketika berbagai bencana ekologis terjadi, yang menjadi korban adalah manusia secara spesies, bukan manusia-manusia secara personal sebagai perusak alam.


Jadi, siapa yang mikirin lingkungan?

Komentar

Postingan Populer